Kamis, 16 Mei 2013

Profesionalisme Arkeologi Masyarakat Trowulan



Oleh Tjahja Tribinuka, MT
Staff pengajar Jurusan Arsitektur ITS
Diterbitkan di harian Surabaya Post

Terdapat banyak alasan yang mendasari sebuah kegiatan konservasi dari karya arsitektur. Kepentingan terhadap penelitian lanjutan yang mengindikasikan perkembangan ilmu tertentu adalah salah satu alasan betapa pentingnya karya arsitektur sebagai sebuah model riset. Namun demikian, kebanyakan karya yang berusia tua sudah tidak lengkap lagi bagian-bagiannya karena lapuk dimakan jaman. Menyikapi karya yang demikian membutuhkan telaah yang cukup mendalam disertai pertimbangan kepentingan berbagai segi ilmu. Sebagai contoh, sebuah bangunan yang runtuh sebagian dapat menjadi pelajaran bahwa sistem  konstruksi tertentu memiliki ketidak-tepatan dalam pengujian antara stabilitas struktur dan berjalannya waktu.
Masyarakat lampau nusantara juga telah belajar dari arsitektur dari masa yang telah mendahuluinya. Relief candi Borobudur abad ke 8 memiliki bentuk yang cukup tajam, namun didapati bahwa ada beberapa bentuk hidung manusia yang patah. Selanjutnya relief candi Penataran pada abad ke 13 terlihat lebih datar, bentuk manusia menghadap ke samping sehingga hidung tidak perlu terpahat menonjol. Andai saja relief manusia di candi Borobudur diperbaiki hidungnya, maka kita tidak akan dapat melihat kesalahan dalam teknik pembuatan relief batu. Beberapa contoh pada tulisan selanjutnya akan mengambil contoh candi-candi di masa kejayaan kerajaan Majapahit di Trowulan.
Sebuah kegiatan konservasi yang dilakukan pada Candi Wringin Lawang, Trowulan, Mojokerto juga memerlukan kritik dan pertimbangan. Maksud baik untuk membuat replika salah satu sisi bentuk candi bentar yang runtuh, justru membuat kelemahan bagi penelitian konstruksi bata ekspos. Bentuk raksasa susunan batu bata yang terlalu ramping ternyata tidak demikian awet, namun jika pengunjung situs tidak terlalu awas, akan menganggap bahwa sistem ini tetap benar. Selayaknya rekonstruksi candi bentar dapat dilakukan dengan sistem kuno yang sama. Jika tidak mampu dilaksanakan barulah dibuat dengan konstruksi modern namun di lokasi yang lain, agar tetap terlihat mana yang otentik dan mana yang imitasi.

Gambar 2a. Candi Wringin Lawang di Trowulan, ketika ditemukan salah satu bagian sisi candinya roboh dan tinggal separuh. Kegiatan konservasi mengembalikan situs candi bentar ini utuh dua-duanya, dalam jangka waktu tertentu akan sulit dibedakan mana batu yang asli dan mana yang tambahan
Jika memang bentuk utuh yang dikejar, selayaknya penambahan baru dilaksanakan dengan membuat material yang lain. Misalnya dengan melengkapi konstruksi batu bata dengan bentuk yang sama, namun materialnya berbeda seperti beton, aspal dan lain-lain. Contoh lain menunjukkan kegiatan positif walau tanpa konsep seperti yang telah dijabarkan. Ada bagian kegiatan renovasi di Candi Brahu, Trowulan, Mojokerto yang dilakukan untuk memperkuat konstruksi rongga atas candi. Caranya dengan membuat cetakan benton bertulang, yang sampai sekarang masih terlihat sebagai benda tambahan, bukan asli.
resize-of-2b
Gambar 2b. Detail Candi Brahu di Trowulan, tambahan elemen konstruksi benton bertulang untuk memperkuat bagian atas rongga candi dibiarkan terlihat jelas. Membedakan mana konstruksi kuno dan konstruksi modern untuk tujuan konservasi. Beruntung beton bertulang ini tidak ditutupi kamoflase batu bata hingga mengaburkan keotentikan candi.
Konservasi merupakan kegiatan penting yang penuh aturan. Aturan tersebut selain didasarkan pada jenis obyek, juga pada kepentingan ilmu dan tingkat kerusakannya. Contoh lain adalah keberadaan candi yang tidak populer di daerah Watesumpak Mojokerto. Situs tersebut demikian mempriharinkan, yang tertinggal hanya seonggok tangga candi, lengkap dengan ukirannya. Pemerintah sudah tidak lagi mempedulikannya dan masyarakat justru mengelolanya untuk kepentingan pribadi lain. Di atas situs tersebut dijadikan makam keramat, pengunjung yang datang harus membayar untuk mengunjunginya. Penyelewengan seperti ini merupakan kejahatan yang sudah jelas ancaman hukumannya, namun tidak dijalankan.
resize-of-2c
Gambar 2c. Candi yang sudah rusak di Watesumpak, Mojokerto. Susunan batu bata purbakala sudah tertimbun tanah dan rerumputan. Di bagian atasnya ditanami pohon dan dijadikan makam keramat.
Biaya konservasi dan perawatannya memang selalu menjadi kendala. Tidak berhenti dari masalah ini, bahkan masyarakat yang memang sudah miskin berlomba-lomba memanfaatkannya untuk kepentingan pribadi. Jelas bahwa kesadaran terhadap perlunya konservasi akan bertabrakan dengan kepentingan ekonomi. Walau demikian, tidaklah salah jika harapan mewujudkan cara mengkonservasi yang benar masih tetap diperjuangkan. Pelaksanaan program yang tidak melulu dari pusat pemerintah (top down) dapat dialihkan dengan program yang berasal masyarakat (bottom up). Bagaimanapun, sebuah situs bersejarah pasti memiliki potensi sebagai sarana pendidikan dan wisata yang dapat mendatangkan dana perawatan.
Masyarakat Trowulan bisa jadi masih mewarisi keahlian kriya masa lampau, di mana saat ini masih menjadi perajin ukir batu dan pengecoran logam. Pembinaan yang tepat dari lembaga yang terkait mengenai corak bentuk hasil kriya disertai pemasaran yang optimal hampir pasti akan membuat perubahan iklim ekonomi mikro di Trowulan. Para pembuat batu-bata yang hasilnya di jual murah dapat dialihkan dengan pembuat gerabah seni dalam konteks kerajaan Majapahit. Peranan Lembaga Swadaya Masyarakat yang dapat langsung menyentuh kehidupan keseharian masyarakat di sekitar situs bersejarah perlu diberdayakan dengan lebih baik lagi.

0 komentar:

Posting Komentar